Laman

Welcome

Selamat Datang Pembaca Cerdas,
Selamat Datang Di Blog Saya Ini. Semoga Anda Mendapatkan Apa yang Anda Inginkan dan membuat Anda menjadi lebih Baik Lagi..

Salam Dahsyat


Tizar Rahmawan

Minggu, 29 Agustus 2010

Fenomenologi (Review)

A. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomenologi ini.
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suka melihat sesuatu gejala, berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori.
Fenomenologi bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme merupakan sebuah metode pemikiran “a way of looking at things”. Dan gejala adalah aktivitas. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subyek dan obyek menjadi satu secara dialektis. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.
Manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transenden, sintesa dari obyek dan subyek. Manusia sebagai entre qumande (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya untuk melihat sesuatu hal, manusia harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang ingin dilihat.
Salah seorang tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. “Zuruck zu den sachen seibst”, kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya.
Setiap obyek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemology, psikologi, antropologi dan studi-studi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).
B. Fenomenologi Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Secara epistemologis, dalam gejala terbentuknya pengetahuan manusia, dapat dibedakan antara dua kutub berbeda dari gejala pengetahuan manusia itu, yaitu antara kutub si pengenal dan kutub yang dikenal, atau antara subyek dan obyek.
Walaupun secara jelas dan tegas keduanya berbeda, akan tetapi untuk membentuk sebuah pengetahuan, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dan keduanya wajib ada karena merupakan suatu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.
Dalam hal ini pengetahuan dan ilmu pengetahuan, subyek adalah manusia dengan akal budinya, sedangkan obyek adalah kenyataan yang diamati dan dialami di alam semesta ini. Suatu kenyataan bahwa supaya ada pengetahuan, subyek harus terarah kepada obyek, dan sebaliknya obyek harus terbuka dan terarah kepada subyek.
Subyek harus terbuka dan terarah atau mengarahkan diri kepada obyek untuk mengenal dan mengetahuinya sebagaimana adanya, dan sebaliknya obyek harus terbuka dan terarah kepada subyek untuk dikenal sebagaimana adanya.
Pengetahuan adalah peristiwa yang terjadi dalam diri manusia. Maka, tanpa ingin meremehkan peran penting dari obyek pengetahuan, manusia sebagai subyek pengetahuan memegang peranan penting. Keterarahan manusia terhadap obyek jadinya merupakan faktor yang sangat menentukan bagi munculnya pengetahuan manusia.
Namun perlu dicatat bahwa keterarahan manusia terhadap obyek ini hanya mungkin menimbulkan pengetahuan kalau dalam diri manusia sebagai subyek, sudah terdapat kesamaan-kesamaan prinsip atau kategori tertentu yang memungkinkan manusia dapat mengenal dan menangkap obyek yang diamatinya.
Pengetahuan terwujud kalau manusia sendiri adalah bagian dari obyek, dari realitas di alam semesta ini. Berkat unsur jasmaniyah, manusia mampu menangkap obyek yang ada disekitarnya karena tubuh jasmani manusia adalah bagian dari realitas alam semesta ini. Serta dengan bantuan jiwa dan akal budinya, manusia mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, konkrit, jasmani – inderawi tadi ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat abstrak dan karena itu universal.
Pengetahuan manusia tidak hanya berkaitan dengan obyek konkrit khusus yang dikenalnya melalui pengamatan inderawinya, melainkan juga melalui itu dimungkinkan untuk sampai pada pengetahuan abstrak tentang berbagai obyek lain yang secara teoritis dapat dijangkau oleh akal budi manusia, dan karena itu berlaku umum bagi obyek mana saja yang bisa dijangkau akal budi manusia pada tempat dan waktu mana pun.
Pengetahuan manusia yang bersifat umum dan universal itulah memungkinkan untuk dirumuskan dan dikomunikasikan dalam bahasa yang bersifat umum dan universal untuk bisa dipahami oleh siapa saja dari waktu dan tempat mana saja. Manusia tidak hanya memiliki tubuh tetapi juga jiwa. Sehingga dengan kesadarannya, manusia melakukan refleksi tentang apa yang diketahuinya itu.
Berkat refleksi ini pula pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan dilakukan secara sistematis sedemikian rupa, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, atau dapat pula dikritik dan dibela, maka lahirnya apa yang kita kenal sebagai ilmu pengetahuan.
Jadi ilmu pengetahuan muncul karena apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung tadi, disusun dan diatur secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku.
C. Penelitian kualitatif fenemenologis
Penelitian adalah jawaban ilmiah terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada umumnya. Dalam kasus yang paling sederhana sekalipun, pemecahan masalah harus melalui penelitian. pemecahan dalam sebuah masalah, jika ingin akurat, harus didasarkan pada penelitian.
Suatu kejadian yang pertama dilihat, merupakan bagian dari pengenalan pertama terhadap fakta-fakta. Pengingatan kembali terhadap fakta-fakta dan penelusurannya dengan rasio, adalah bagian dari filsafat. Integritas antara fakta-fakta inderawi dengan daya ingat merupakan bagian terpenting dalam filsafat penelitian. Demikian pula, dengan penalaran teoritis dalam pikiran dan penerapannya ke dalam kehidupan empirik. Itu semua merupakan filsafat penelitian yang berkaitan dengan rasionalisme empiris.
Ada dua hal yang cukup penting dalam suatu pemikiran atau penelitian, yang dapat dikaji dalam perspektif epistemology, yaitu:
1. Pengalaman yang dirasakan peneliti secara tidak sengaja, tetapi menjadi bahan pemikiran dan dapat melahirkan suatu pendekatan untuk menyelesaikan masalah.
2. Pengalaman yang secara sengaja diciptakan sehubungan dengan adanya upaya untuk menguji teori dalam mencapai kebenaran konsisten.
Dua hal di atas akan memancing dua pertanyaan mendasar, yaitu: pertama, apa metode yang dapat digunakan untuk menemukan pemecahan masalah terhadap fakta-fakta yang diperoleh secara tidak sengaja? Mungkinkah menggunakan metode penelitian ilmiah murni atau penelitian ilmiah terapan? Kedua, untuk keperluan apa penelitian (sesuai pendekatan) itu dilakukan? Dengan metode ilmiah terapan atau dengan metode penelitian ilmiah murni?
Menurut Yudistira K. Garna (1999: 14-15) perkembangan penelitian, secara filosofis, bermula dari adanya kritik dari dalam komunitas peneliti dan kelompok ilmu yang biasanya berasal dari perdebatan mendalam, berkaitan dengan bagaimana metode atau pendidikan penelitian yang dianggap cocok dan tidak cocok dengan hakikat masalahnya. Terutama berkaitan dengan tujuan pragmatis dari hakikat realitas sosial yang diteliti.
Oleh sebab itu, pembahasan filsafat penelitian berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif bagi para ilmuwan.
Seperti dalam penelitian bidang ilmu sosial, dari beberapa penelitian sosial tampak ada yang menggunakan prinsip positivisme, terutama adopsi dengan tuntutan dasar ilmu tersebut. Pada saat yang bersamaan, juga timbul reaksi terhadap pengaruh positivisme terhadap banyak wilayah ilmu, yang dari waktu ke waktu semakin kuat. sehingga muncul kritik interpretatif terhadap penelitian, tuding-menuding antara ilmu murni dan ilmu terapan dalam kaitannya dengan ontology penelitian.
Menurut ilmuwan sosial, metode ilmu ilmiah tidak relevan jika diterapkan dalam penelitian sosial karena gejala yang ditelitinya berbeda. Apabila gejala yang menyebabkan orang karena sakit influenza diterapkan kepada kehidupan masyarakat pedesaan, tentu pendekatan tersebut benar-benar keblinger. Sebaliknya, gejala kemiskinan yang terdapat dalam kajian ilmu sosial apabila diterapkan kepada orang yang terkena penyakit hipertensi, tentu itu pun sangat tidak relevan.
Oleh karena itu, terjadilah perceraian metodologis antara ilmu alam dan ilmu sosial, yakni ilmu murni dan ilmu terapan. Hal tersebut berarti secara ontologis, hakikat masalah yang diteliti berbeda, dan secara epistemologis, pemecahan masalah dengan memilih metode mana yang cocok pun berlainan.
Secara substansial, meskipun kajian dasarnya berbeda, jika didekati secara aksiologi akan ditemukan titik temu yang kondusif antara nilai guna ilmu alamiah dan ilmu sosial. Konteks tujuan dan manfaat kedua ilmu tersebut pada dasarnya secara pragmatis bermaksud mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.
Hasil dari penelitian ilmu ilmiah diantaranya adalah ilmu kedokteran, ilmu tanaman, dan sebagainya, yang mudah diterapkan dalam kemaslahatan manusia. Sedangkan hasil dari penelitian ilmu sosial adalah ilmu budaya, ilmu politik, dan sebagainya, yang dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dari titik temu yang bersifat substansial dan aksiologis, kedua pendekatan ilmu tersebut telah diterapkan dalam kehidupan manusia. hanya saja wilayahnya yang berbeda dan proporsionalisasinya tidak dapat dipaksakan untuk sama.

Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 368
A. Sonny Keraf dan Mikhael, Dua Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan Filosofis), (Yogyakarta: KANISIUS, 2001), hal. 19
Ibid, hal. 20
Ibid.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal, 151
http://johannifa.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar